TAMPAKNYA
sebagian besar manusia sudah tidak diperlakukan dan didudukkan lagi sebagai
subjek yang mandiri. Manusia justru lebih menjadi objek, yaitu ia cenderung
menjadi kelinci percobaan yang disuguhi beraneka ragam produk buah budaya oleh
manusia sendiri yang tampak lebih bagus bungkusnya daripada isinya. Cobalah
perhatikan kehidupan kita sehari-hari, begitu banyak hal yang sebenarnya
sederhana tetapi ia dikemas sedemikian rupa sehingga lebih tampak menarik. Misalnya
saja, tepung jagung dan tepung beras bisa disulap menjadi produk makanan ringan
(snack) yang cukup lux dan menantang. Kita
kenal chiki, taro, tazoos, dan banyak merk dagang lainnya yang bungkusnya
sedemikian bagus sehingga kita tertarik untuk membelinya. Tetapi tak mustahil,
biaya produksi bungkus makanan yang lux itu justru lebih banyak daripada biaya
produksi isinya.
Itu baru contoh sederhana tentang makanan ringan yang memberi kesempatan kepada segelintir orang untuk membodohi sebagian besar orang lainnya. Ini akan tampak lebih parah lagi jika analogi di atas kita kaitkan dengan fenomena negatif yang ada dalam masyarakat modern dan global sekarang ini, dimana selain terjadi pemuasan nafsu diri yang seringkali terasa aneh dalam penglihatan orang awam, juga sedang muncul eufemisme budaya. Dalam konteks demikian, fenomena budaya bungkus (lebih bagus bungkus daripada isinya) itu telah pula kian merambah pada sebagian besar generasi muda kita sekarang. Dan hal itu bukan mustahil akan lebih parah lagi kondisinya nanti. Apalagi sarana dan prasarana untuk terwujud ke arah itu terbentang cukup luas. Misalnya, seiring dengan munculnya plaza dan mall yang lengkap dengan sarana hiburannya, telah menimbulkan ekses yang demikian besar. Di kalangan anak muda perkotaan, hal itu antara lain memunculkan apa yang dinamakan kebiasaan ngeceng dan mejeng secara beramai-ramai di mall. Lantaran sangat riuhnya anak-anak muda memadati mall, sehingga lahirlah istilah remaja-remaja mall, sebagaimana biasa kita dengar belakangan ini.
ENTAH
disadari atau tidak, kebiasaan ngeceng
dan mejeng para remaja di mall tersebut telah memerangkap mereka ke
dalam budaya bungkus. Mengapa
demikian? Untuk bisa ngeceng, cari perhatian, dan agar tidak dibilang
kolot serta kurang pergaulan, maka mereka berdandan secara mencolok, meskipun
tak seindah warna aslinya. Akhirnya, pakaian dan aksesoris yang mereka gunakan
sudah menjadi logika dan ukuran dalam berpenampilan. Yang
laki-laki tampak lebih suka pakai anting-anting di kuping, di bibir, di hidung,
ataupun di kulit alis matanya. Rambutnya pun gondrong dan gimbal. Juga tak lupa
pakai celana jeans yang ketat dan robek di dengkulnya. Anak-anak
perempuannya pun tak mau kalah. Mereka agaknya lebih sreg pakai rok mini atau
celana pendek ketat, atau celana panjang jeans yang ketat dan beberapa
bagiannya agak dipudarkan, pakai kaos oblong ketat dengan berbagai tulisan dan
gambar yang tak karuan. Mereka
berpakaian seperti ini mungkin sebagai suatu cara untuk aktualisasi diri melalui
medium yang paling dasar, yakni melalui sosok fisik, tingkah laku, gaya, serta dandanan
untuk menarik perhatian orang di sekitarnya. Dengan
membungkus diri dengan berbagai keindahan dan bergaya modern ala
kebarat-baratan, mereka berusaha untuk tampil di muka publik.
Mall
mereka pilih karena ia merupakan pusat publik dengan fasilitas ruangan yang
representatif, yakni bersih, terang, ber-AC, dan punya aura mewah yang
memancarkan gengsi sosial kelas elit. Maka mungkin saja dalam diri pengunjung
yang kreatif ini menyimpan impian-impian mewah, naluri mengejar gengsi dan
seterusnya, yang cukup direfleksikan dengan mengunjungi mall karena berbagai
kendala, terutama kendala ekonomis. Mall
sama sekali tidak ada sedikitpun mereka pandang sebagai institusi kemewahan
yang mengejek kondisi objektif mereka. Melainkan direspons sebagai bagian dari
jagat bermain mereka sebagai homo ludens (makhluk bermain). Remaja-remaja
mall itu merasa mendapatkan tanah lapang budaya baru setelah tanah lapang
budaya lama mereka dikendalikan oleh elit ekonomi dan politik. Remaja-remaja
mall itu merupakan bagian dari lapisan sosial yang tidak memiliki password
sosial-ekonomi untuk mengakses modernitas. Satu-satunya password mereka adalah
naluri bermain itu. Mereka mencipta suatu dunianya sendiri di tengah peradaban
yang sangat kuat menyeret mereka.
FENOMENA
remaja-remaja mall yang berbudaya bungkus dengan gaya hidup hura-hura ini tampak agak pas
dengan arah gerak modernisasi yang kita jalani. Selama ini kita belum berhasil
membangun suatu konsep modernisasi yang dibentuk berdasarkan nilai-nlai
kemasyarakatan atau pengalaman hidup bangsa kita. Selama
ini kita meminjam konsep modernisasi yang dibentuk atas dasar pengalaman dan
nilai-nilai yang diyakini bangsa lain (bangsa Barat). Akibatnya, tentu saja
hasilnya tidak jauh berbeda dari bentuk budaya bangsa lain yang pernah memakai
konsep yang sama. Konsep
modernisasi yang kita adaptasi, demikian peka dengan nilai-nilai ekonomis. Bila
iman tidak kuat, maka akan sangat gampang bagi seseorang untuk terjerembab
kepada upaya mencari keuntungan-keuntungan ekonomis, serta lebih berorientasi
kepada materialisme dan individualisme. Sangat mudah bagi seseorang untuk
merendahkan nilai dan martabat serta membodohi orang lain demi keuntungan
ekonomis. Pandangan
itu tentu amat bertentangan dengan nilai-nilai dasar dari hidup bangsa kita.
Kita demikian mengagung-agungkan nilai kekeluargaan dan gotong-royong. Kita
cekok-kan (tanamkan) paham kebersamaan pada diri anak-anak kita. Tetapi di luar
sana, di luar
keluarga, mereka dihadang oleh suatu perangkat nilai yang lain, yang secara
potensial dapat meruntuhkan nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam keluarga.
Mari
kita simak ilustrasi berikut. Di rumah, kita ajarkan nilai-nilai kesusilaan
pada anak-anak. Tetapi siaran televisi, terutama acara hiburan, sangat sering
mempertontonan adegan-adegan yang membuat jantung berdegup keras. Di
layar kaca itu, si anak melihat demontrasi kemewahan yang kadang kala
berlebihan. Di sana,
mereka juga melihat lenggak-lenggok artis penyanyi yang berusaha memamerkan
aurat mereka. Para penyanyi tampak lebih berusaha menjual tubuh daripada
suaranya (jadi lebih dominan bungkus daripada isinya). Remaja
yang melihat hal itu ialah remaja yang senang berfantasi. Mendapat rangsangan
seperti itu, fantasi mereka tentu melayang ke mana-mana. Lebih
parah lagi, film-film ataupun nyanyian nasional yang ditayangkan, atau yang
dijual di pasaran, sarat dengan pesan penderitaan. Sebaliknya, film-film dan
penyanyi impor justru penuh dengan nilai-nilai heroik. Akibatnya
mudah ditebak. Di satu sisi banyak remaja kita yang demikian cengeng, dan di
sisi lain ada pula yang galau atas kontradiksi nilai-nilai (pesan-pesan) dari
lingkungannya. Akhirnya, meminjam teori Ted Gurr, para remaja sering bersikap
reaktif yang dilampiaskan di luar rumah, seperti ngeceng dan mejeng di mall.
DENGAN
demikian, remaja-remaja mall itu adalah bagian dari anak-anak yang dibesarkan
dalam asuhan kebudayaan massa
(mass culture), yang salah satu tujuannya ialah menciptakan masifikasi massa, yakni massa yang tidak
beridentitas karena identitas diri sudah digantikan oleh simbol-simbol
material. Massa
seperti itu tidak mempunyai otentisitas ekspresi selain meniru perilaku, gaya hidup atau
simbol-simbol modern yang dipompakan media massa misalnya melalui iklan-iklan,
telenovela-telenovela, sinetron-sinetron, dan produk budaya lainnya yang
dangkal. Karena
itu, bila mengamati perilaku remaja-remaja mall, maka kita bisa mengatakan
bahwa mereka tiada lain adalah anak-anak sejarah dari suatu peradaban yang
tanggung. Bisa jadi hal itu karena sejak awal set up-nya memang kurang tepat.
Barangkali saja kita terlalu tergesa-gesa memasuki budaya global yang serba
digital, sementara prosedur yang disiapkan kurang matang.
Sebagai
contoh, meskipun kita masih berada dalam kondisi yang belum matang budaya baca
dan tulisnya, tapi kita justru tergesa-gesa meloncat memasuki budaya visual
yang begitu perkasa dan cenderung mengenalkan kita kepada kepingan-kepingan
fakta dan fenomena, bukan satu wacana yang utuh. Karenanya,
sarana audio visual belum sepenuhnya disikapi sebagai media pembelajaran bagi
masyarakat, melainkan lebih kepada memanfaatan media itu untuk bisnis demi
mereguk keuntungan sebanyak-banyaknya. Implikasi
selanjutnya, orang membuat sinetron atau memutar telenovela misalnya, bukan
lantaran urgensi kultural. Sinetron atau telenovela itu cenderung diciptakan
hanya untuk meraih iklan sebanyak-banyaknya, tanpa ada tanggung jawab moral dan
kultural terhadap masyarakat. Dalam
konteks demikianlah kita bisa mengatakan bahwa remaja-remaja mall itu merupakan
bagian dari ongkos sosial-kultural yang tidak ternilai risikonya atas pilihan
modernisasi kita yang cenderung mengutamakan materi (ekonomi), yang salah
satunya melahirkan gaya
hidup masyarakat hedonis (memburu kenikmatan). Tingginya ongkos sosial-kultural
itu tak bisa ditukar dengan semua perolehan materi dari pribadi maupun kelompok
yang punya akses dan kapasitas penentu dalam bidang ekonomi dan politik. Persoalan
itu pada ujungnya menghadapkan bangsa kita pada pekerjaan rumah yang besar
untuk menemukan format kebudayaan massa
yang lebih bisa menjawab tantangan peradaban. Jika
agenda ini tak dilaksanakan, otomatis kita akan mewariskan generasi muda yang
lebih mahal bungkusnya (penampilannya) ketimbang isinya (otaknya). Inilah yang
sangat penting kita renungkan dan selesaikan.
~~
~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar